1.
Kebenaran
Ilmiah
Berbicara tentang
kebenaran ilmiah, tentunya tidak lepas dari pemahaman tentang ilmu. Ilmu
merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima – ya’lamu yang
berarti tahu atau mengetahui, sementara itu secara istilah ilmu diartikan
sebagai idroku syai bi haqiqotih (mengetahui sesuatu secara hakiki). Dalam
bahasa Inggris, ilmu biasanya dipadankan dengan kata science, sedang
pengetahuan dengan knowledge. Dalam bahasa Indonesia kata science (berasal dari
bahasa latin dari kata scio, scire yang berarti tahu) umumnya diartikan ilmu
tapi sering juga diartikan dengan ilmu pengetahuan, meskipun secara konseptual
mengacu pada makna yang sama. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem
menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan
gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) itu .
Menurut The Liang Gie
secara lebih khusus menyebutkan ciri-ciri ilmu sebagai berikut :
a. Empiris
(berdasarkan pengamatan dan percobaan)
b. Sistematis (tersusun secara logis serta mempunyai
hubungan saling bergantung dan teratur)
c. Objektif
(terbebas dari persangkaan dan kesukaan pribadi)
d. Analitis
(menguraikan persoalan menjadi bagian-bagian yang terinci)
e. Verifikatif (dapat diperiksa kebenarannya)
Sementara itu Beerling
menyebutkan ciri ilmu (pengetahuan ilmiah) adalah :
a. Mempunyai
dasar pembenaran
b. Bersifat
sistematik
c. Bersifat
intersubjektif
Setelah kita memahami
tentang ilmu itu sendiri, kita akan lebih mudah dalam menafsirkan apa itu
kebenaran ilmiah. Yaitu, kebenaran yang sesuai dengan fakta dan mengandung isi
pengetahuan. Pada saat pembuktiannya kebenaran ilmiah harus kembali pada status
ontologis objek dan sikap epistemologis (dengan cara dan sikap bagaimana
pengetahuan tejadi) yang disesuaikan dengan metodologisnya. Hal yang penting dan
perlu mendapat perhatian dalam hal kebenaran ilmiah yaitu bahwa kebenaran dalam
ilmu harus selalu merupakan hasil persetujuan atau konvensi dari para ilmuwan
pada bidangnya masing-masing.
Kebenaran ditemukan
dalam pernyataan-pertanyaan yang sah, dalam ketidak-tersembunyian. Kebenaran
adalah kesatuan dari pengetahuan dengan yag diketahui, kesatuan subjek dengan
objek, dan kesatuan kehendak dan tindakan. Kebenaran sering dianggap sebagai
sesuatu yang harus “ditemukan” atau direbut melalui pembedaan antara kebenaran
dengan ketidakbenaran. Dan kebenaran ilmiah paling tidak memiliki tiga sifat
dasar, yakni:
a. Struktur
yang rasional-logis. Kebenaran dapat dicapai berdasarkan kesimpulan logis atau
rasional dari proposisi atau premis tertentu. Karena kebenaran ilmiah bersifat
rasional, maka semua orang yang rasional (yaitu yang dapat menggunakan akal
budinya secara baik), dapat memahami kebenaran ilmiah. Oleh sebab itu kebenaran
ilmiah kemudian dianggap sebagai kebenaran universal. Dalam memahami pernyataan
di depan, perlu membedakan sifat rasional (rationality) dan sifat masuk akal
(reasonable). Sifat rasional terutama berlaku untuk kebenaran ilmiah, sedangkan
masuk akal biasanya berlaku bagi kebenaran tertentu di luar lingkup
pengetahuan. Sebagai contoh: tindakan marah dan menangis atau semacamnya, dapat
dikatakan masuk akal sekalipun tindakan tersebut mungkin tidak rasional.
b. Isi empiris. Kebenaran ilmiah perlu diuji
dengan kenyataan yang ada, bahkan sebagian besar pengetahuan dan kebenaran
ilmiah, berkaitan dengan kenyataan empiris di alam ini. Hal ini tidak berarti
bahwa dalam kebenaran ilmiah, spekulasi tetap ada namun sampai tingkat tertentu
spekulasi itu bisa dibayangkan sebagai nyata atau tidak karena sekalipun suatu
pernyataan dianggap benar secara logis, perlu dicek apakah pernyataan tersebut
juga benar secara empiris.
c. Dapat
diterapkan (pragmatis). Sifat pragmatis, berusaha menggabungkan kedua sifat
kebenaran sebelumnya (logis dan empiris). Maksudnya, jika suatu “pernyataan
benar” dinyatakan “benar” secara logis dan empiris, maka pernyataan tersebut
juga harus berguna bagi kehidupan manusia. Berguna, berarti dapat untuk
membantu manusia memecahkan berbagai persoalan dalam hidupnya.
2.
Kebenaran
Agama
Ketiga teori kebenaran sebelumnya
menggunakan akal, budi, fakta, realitas dan kegunaan sebagai landasannya. Dalam
teori kebenaran agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan.
-
Sebagai makluk pencari kebenaran,
manusia dapat mencari dan menemukan kebenaran melalui agama.
-
Dengan demikian, sesuatu dianggap benar
bila sesuai dan koheren dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu
kebenaran mutlak.
-
Agama dengan kitab suci dan hadits nya
dapat memberikan jawaban atassegala persoalan manusia, termasuk kebenaran.
3.
Kebenaran
Filsafat
Ada empat teori kebenaran menurut
filsafat, yaitu teori Korespondensi, Teori Koherensi, Teori Pragmatisme, dan
Teori Kebenaran Illahiah atau agama. Ketiga teori pertama mempunyai perbedaan
paradigma. Teori koherensi mendasarkan diri pada kebenaran rasio, teori
korespondensi pada kebenaran faktual, dan teori pragmatisme fungsional pada
fungsi dan kegunaan kebenaran itu sendiri. Tetapi ketiganya memiliki persamaan.
Yaitu pertama, seluruh teori melibatkan logika, baik logika formal maupun
material (deduktif dan induktif), kedua melibatkan bahasa untuk menguji
kebenaran itu, dan ketiga menggunakan pengalaman untuk mengetahui kebenaran
itu.
a. Teori Korespondensi
Teori korespondensi (Correspondence Theory of Truth)
menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu keadaan benar itu terbukti benar bila
ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan/pendapat dengan objek
yang dituju/dimaksud oleh pernyataan/pendapat tersebut. Kebenaran adalah
kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaras dengan realitas, yang
serasi dengan situasiaktual.
Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu
pernyataan (statement), persesuaian (agreement), situasi (situation), kenyataan
(realitas) dan putusan (judgement). Kebenaran adalah fidelity to objective
reality. Atau dengan bahasa latinnya: edaequatioin telectuset rei (kesesesuaian
pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya
Plato, Aristoteles dan Moore. Dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas
Aquinas diabad skolastik, serta oleh Bertrand Russel pada abad modern. Cara
berpikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespondensi ini.
b.
Teori Koherensi
Teori koherensi (The Coherence Theory of Truth)
menganggap suatu pernyataan benar bila didalamnya tidak ada pertentangan,
bersifat koheren dan konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang telah dianggap
benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu
dilaksanakan atas petimbangan yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah
diterima kebenarannya. Rumusan kebenaran adalah, truth is a systematic
coherence, dan truth is consistency.
JikaA = B danB = C, makaA = C.
Logika matematik yang deduktif memakai teori
kebenaran koherensi ini, yang menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika
premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini digunakan oleh aliran
metafisikus-rasionalis dan idealis. Teori ini sudah ada sejak pra-Socrates,
kemudian dikembangkan oleh Benedictus Spinoza dan George Hegel. Suatu teori
dianggap benar apabila telah dibuktikan (justifikasi) benar dan tahan
uji(testable). Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yang benar atau
dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan
sendirinya.
c. Teori
Pragmatis
Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth)
menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil itu memiliki kebenaran bila
memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia. Kaum pragmatis
menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility), dapat dikerjakan
(work ability), dan akibat yang memuaskan (satisfactory consequence). Oleh karena
itu tidak ada kebenaran yang mutlak/tetap, kebenarannya tergantung pada kerja,
manfaat dan akibatnya.
Akibat/hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis
adalah:
a. Sesuai
dengan keinginan dan tujuan
b. Sesuai dan teruji dengan suatu eksperimen
c. Ikut
membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis(ada).
Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari para
filsup Amerika. Tokohnya adalah Charles S. Pierce (1839 –1914) dan di ikuti
oleh William James dan John Dewey (1859 –1952).
d. Kebenaran
Religius (Agama sebagai teori kebenaran)
4.
Perbedaan
dan Persamaan Antara Ilmu Pengetahuan, Filsafat dan Agama Sebagai Sumber
Pengetahuan.
Filsafat dan Ilmu
adalah dua kata yang saling berkaitan baik secara substansial maupun historis.
Kelahiran suatu ilmu tidak dapat dipisahkan dari peranan filsafat, sebaliknya
perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Ilmu atau Sains merupakan
komponen terbesar yang diajarkan dalam semua strata pendidikan. Walaupun telah
bertahun-tahun mempelajari ilmu, pengetahuan ilmiah tidak digunakan sebagai
acuan dalam kehidupan sehari-hari.
Ilmu dianggap sebagai
hapalan saja, bukan sebagai pengetahuan yang mendeskripsikan, menjelaskan,
memprediksikan gejala alam untuk kesejahteraan dan kenyamanan hidup. Kini ilmu
telah tercerabut dari nilai luhur ilmu, yaitu untuk menyejahterakan umat
manusia. Bahkan tidak mustahil terjadi, ilmu dan teknologi menjadi bencana bagi
kehidupan manusia, seperti pemanasan global dan dehumanisasi.
Ilmu dan teknologi
telah kehilangan ruhnya yang fundamental, karena ilmu telah mengurangi bahkan
menghilangkan peran manusia, dan bahkan tanpa disadari manusia telah menjadi
budak ilmu dan teknologi. Oleh karena itu, filsafat ilmu mencoba mengembalikan
roh dan nilai luhur dari ilmu, agar ilmu tidak menjadi bumerang bagi kehidupan
manusia. Filsafat ilmu akan mempertegas bahwa ilmu dan teknologi adalah
instrumen dalammencapai kesejahteraan bukan tujuan. Filsafat ilmu diberikan
sebagai pengetahuan bagi orang yang ingin mendalami hakikat ilmu dan kaitannya
dengan pengetahuan lainnya. Bahan yang diberikan tidak ditujukan untuk menjadi
ahli filsafat.
Dalam masyarakat
religius, ilmu dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai
ketuhanan, karena sumber ilmu yang hakiki adalah Tuhan. Manusia diberi daya
fikir oleh Tuhan, dan dengan daya pikir inilah manusia menemukan teori-teori
ilmiah dan teknologi. Pengaruh agama yang kaku dan dogmatis kadang kala
menghambat perkembangan ilmu. Oleh karenanya diperlukan kecerdasan dan kejelian
dalam memahami kebenaran ilmiah dengan sistem nilai dalam agama, agar keduanya
tidak saling bertentangan.
Dalam filsafat ilmu,
ilmu akan dijelaskan secara filosofis dan akademis sehingga ilmu dan teknologi
tidak tercerabut dari nilai agama, kemanusiaan lingkungan. Dengan demikian
filsafat ilmu akan memberikan nilai dan orientasi yang jelas bagi setiap ilmu.
Ada yang mengatakan bahwa antara ilmu, filsafat dan agama memiliki hubungan.
Namun demikian, tidak menafikan terhadap pandangan bahwa satu sama lain
merupakan ‘sesuatu’ yang terpisah; di mana ilmu lebih bersifat empiris,
filsafat lebih bersifat ide dan agama lebih bersifat keyakinan.
Menurut Muhammad Iqbal
dalam Recontruction of Religious Thought in Islam sebagaimana dikutip Asif
Iqbal Khan (2002), “Agama bukan hanya usaha untuk mencapai kesempurnaan, bukan
pula moralitas yang tersentuh emosi”. Bagi Iqbal, agama dalam bentuk yang lebih
modern, letaknya lebih tinggi dibandingkan puisi. Agama bergerak dari individu
ke masyarakat. Dalam geraknya menuju pada realitas penting yang berlawanan
dengan keterbatasan manusia. Agama memperbesar klaimnya dan memegang prospek
yang merupakan visi langsung realitas. (Asif Iqbal Khan, Agama, Filsafat, Seni
dalam Pemikiran Iqbal, 2002: 15). Menurut
Asif (2002: 16), sekalipun diekspresikan dalam jargon filsafat kontemporer,
tetapi mempunyai tujuan yang sama dengan para ilmuwan Islam pada abad
pertengahan yaitu menyeimbangkan agama di satu pihak dengan ilmu pengetahuan
modern dan filsafat utama sebagaimana tertuang dalam pendahuluan buku
rekonstruksinya, yaitu “untuk merekonstruksi filsafat religious Islam
sehubungan dengan tradisi filsafat Islam dan perkembangan lebih lanjut berbagai
bidang ilmu pengetahuan manusia”. Iqbal menegaskan dengan optimis, “waktunya
sudah dekat bagi agama dan ilmu pengetahuan untuk membentuk suatu harmoni yang
tidak saling mencurigai satu sama lain”.
Untuk lebih adilnya
dalam menilai hubungan ketiganya, patut dicermati pandangan Endang Saifuddin
Anshari (Ilmu, Filsafat dan Agama, 1979) yang menyebutkan di samping adanya
titik persamaan, juga adanya titik perbedaan dan titik singgung. Baik ilmu
maupun filsafat atau agama, bertujuan (sekurang-kurangnya berurusan dengan hal
yang sama), yaitu kebenaran. Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri mencari
kebenaran tentang alam dan manusia. Filsafat dengan wataknya sendiri pula
menghampiri kebenaran, baik tentang alam, manusia dan Tuhan. Demikian pula
agama, dengan karakteristiknya pula memberikan jawaban atas segala persoalan
asasi yang dipertanyakan manusia tentang alam, manusia dan Tuhan. (Endang Saifuddin
Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, 1979: 169) Masih menurutnya, baik ilmu
maupun filsafat, keduanya hasil dari sumber yang sama, yaitu ra’yu manusia
(akal, budi, rasio, reason, nous, rede, vertand, vernunft). Sedangkan agama
bersumberkan wahyu dari Allah. Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan
penyelidikan (riset, research), pengalaman (empirik) dan percobaan.
Filsafat menghampiri
kebenaran dengan cara mengembarakan atau mengelanakan akal budi secara radikal
dan integral serta universal tidak merasa terikat dengan ikatan apapun, kecuali
oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika. Kebenaran ilmu pengetahuan adalah
kebenaran positif (berlaku sampai dengan saat ini), sedangkan kebenaran
filsafat adalah kebenaran spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara
empiris, riset dan eksperimental). Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran
filsafat bersifat nisbi (relatif), sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak
(absolut), karena agama adalah wahyu yang di turunkan Dzat Yang Maha Benar, Maha
Mutlak dan Maha Sempurna.
Baik ilmu maupun
filsafat, kedua-duanya dimulai dengan sikap sangsi atau tidak percaya.
Sedangkan agama dimulai dengan sikap percaya dan iman. Adapun titik singgung,
adalah perkara-perkara yang mungkin tidak dapat dijawab oleh masing-masingnya,
namun bisa dijawab oleh salah satunya. Gambarannya, ada perkara yang dengan
keterbatasan ilmu pengetahuan atau spekulatifnya akal, maka keduanya tidak bisa
menjawabnya. Demikian pula dengan agama, sekalipun agama banyak menjawab
berbagai persoalan, namun ada persoalan-persoalan manusia yang tidak dapat
dijawabnya. Sementara akal budi, mungkin dapat menjawabnya. Ketiga-tiganya
memiliki hubungan dan tidak perlu dibenturkan satu sama lain selama diyakini
bahwa ilmu manusia memiliki keterbatasan. Demikian pula dengan filsafat, selama
difahami sebagai proses berfikir bukan sebagai penentu. Adapun agama dapat
diyakini, selama dapat dibuktikan dengan dalil-dalil yang dapat dipertangung
jawabkan.
Sumber
: http://munawarmadina.blogspot.com/2014/02/kebenaran-ilmiah-kebenaran-agama-dan.html
0 komentar:
Posting Komentar